Konsekwensi Jihad Perang
KONSEKWENSI JIHAD PERANG
Oleh
Ustadz Ahmas Faiz Asifuddin
Kewajiban jihad tetap akan berlangsung hingga hari akhir. Dalam pengertian luas (tidak hanya perang), jihad merupakan fardhu ‘ain (kewajiban setiap muslim) menurut kemampuan masing-masing.
Syaikh Shalih Al Lahidan mengatakan: “Jihad pada hari ini, saya lihat merupakan fardhu ‘ain bagi setiap muslim untuk mengajak orang masuk ke dalam dinul Islam, dengan cara hikmah dan nasihat yang baik (mau’izhah hasanan). Adalah memungkinkan bagi setiap muslim pada zaman ini untuk berjihad fi sabilillah (dalam pengertian luas,-Pen); maka tidak ada alasan bagi muslim untuk meninggalkan jihad” [1].
Namun, jihad dalam arti perang memiliki kaidah-kaidah, pedoman-pedoman serta aturan-aturan. Hukumnyapun bisa berbeda-beda. Begitu pula dengan lawan, yang dalam jihad juga harus teridentifikasi secara jelas. Perang dapat diarahkan kepada pihak-pihak yang menurut syari’at diperbolehkan untuk dilancarkan. Bukan asal disebut musuh. Lihat misalnya kasus peperangan yang dilancarkan Abu Bakar kepada penolak zakat. Yang jelas, tidak setiap perlawanan yang dimobilisasi atau terorganisir bisa disebut jihad.
Jika sasarannya orang-orang kafir, status mereka juga harus jelas, apakah mereka termasuk orang-orang yang boleh diperangi ataukah tidak. Sebab, pada sekelompok orang-orang kafir tersebut ada kafir harbi, kafir dzimmi atau mu’ahad. Begitu juga di kalangan mereka ada wanita, anak-anak dan orang-orang lanjut usia.
Untuk menetapkan, apakah orang kafir tersebut harbi atau tidak, dan apakah peperangan kepada mereka dibenarkan, khususnya pada zaman sekarang ini? Tentu persoalannya memerlukan kajian serius dan tidak bisa digeneralisir. Dalam hal ini, umat Islam tetap memerlukan bimbingan ulama yang shalih. Bukan tokoh-tokoh yang berhaluan Khawarij atau Mu’tazilah.
Sebagaimana amalan-amalan lain dalam Islam, jihad juga merupakan amalan syar’i, dan merupakan salah satu ibadah paling afdhal (utama). Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya :
أَيُّ الْعَمَلِ أَفْضَلُ؟ قَالَ: (إِيْمَانٌ بِاللهِ وَرَسُوْلِهِ). قِيْلَ : ثُمَّ مَاذَا ؟ قَالَ : (اَلْجِهَادُ فِى سَبِيْلِ اللهِ) . قِيْلَ: ثُمَّ مَاذَا ؟ قَالَ : (حَجٌّ مَبْرُوْرٌ). أخرجه البخاري ومسلم في صحيحيهما.
“Amal perbuatan apakah yang paling afdhal?” Beliau menjawab,”Iman kepada Allah dan RasulNya.” (Dalam riwayat Muslim, tanpa “RasulNya”). Ditanyakan lagi kepada Beliau: “Kemudian apa?” Beliau bersabda,”Jihad di jalan Allah.” Beliau ditanya lagi: “Kemudian apa?” Beliau bersabda,”Haji mabrur.” [2]
Jika demikian halnya, maka jihad memiliki ketentuan-ketentuan yang rujukannya adalah syari’at Allah, bukan hawa nafsu, dan bukan pemaksaan kehendak dari kelompok tertentu manapun.
Jihad bukan persoalan sederhana yang hanya membutuhkan keberanian dan tidak takut mati. Jihad adalah ibadah yang memiliki konsekwensi hukum amat luas dan beresiko tinggi. Bahkan bisa fatal. Bagaimana bila seseorang mati terbunuh dalam kancah yang dianggap jihad, sedangkan apa yang dilakukannya sebagai perkara bid’ah? Bukankah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salllam telah mengingatkan dalam sabdanya:
كُلّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ – رواه أبو داود
“Setiap yang bid’ah adalah sesat“. [HR Abu Dawud]
Atau bagaimana jika seseorang terbunuh dalam suatu peperangan, sedangkan ia dalam keadaan tidak akhlas? Bukankah neraka yang menjadi ancamannya? Sebagaimana disebutkan dalam hadits shahih tentang tiga golongan manusia yang diseret ke dalam neraka, salah satunya ialah orang yang mati terbunuh dalam jihad. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَوَّلُ النَّاسِ يُقْضَى لَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ثَلَاثَةٌ رَجُلٌ اسْتُشْهِدَ فَأُتِيَ بِهِ فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَهَا قَالَ فَمَا عَمِلْتَ فِيهَا قَالَ قَاتَلْتُ فِيكَ حَتَّى اسْتُشْهِدْتُ قَالَ كَذَبْتَ وَلَكِنَّكَ قَاتَلْتَ لِيُقَالَ فُلَانٌ جَرِيءٌ فَقَدْ قِيلَ ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ حَتَّى أُلْقِيَ فِي النَّارِ …رواه النسائ
“Orang-orang yang pertama kali diputuskan pada hari Kiamat ada tiga. (Yaitu:) Pertama, seorang lelaki yang mati di medan tempur, lalu dihadirkan ke hadapan Allah dan diberitahukan tentang nikmat-nikmat Allah kepadanya, lalu diapun mengetahuinya. Allah bertanya kepadanya: “Apa yang engkau perbuat dengan nikmat-nikmat itu?” Orang ini menjawab,”Aku sudah berjuang karenaMu sampai mati.” Allah berfirman,”Engkau bohong, tapi engkau bertempur agar dikatakan si Fulan pemberani, Dan ucapan itu sudah terucapkan.” Lalu orang itu diperintahkan agar diseret sehingga dimasukkan ke dalam neraka…” [HR An Nasa-i]
Itulah sebabnya, ketika Amirul Mu’minin Abu Bakar Ash Shiddiq hendak melancarkan peperangan kepada pembangkang zakat, beliau terlebih dahulu bermusyawarah dengan para tokoh sahabat lainnya untuk memastikan hal tersebut.
Jihad, secara resmi harus di bawah payung kepemimpinan yang sah menurut syari’at; apakah itu disebut Sulthan, Amir, Imam atau apapun namanya, kecuali jihad difa’ (pembelaan diri ketika diserang musuh).
Lembaga Fatwa Ulama Kerajaan Saudi Arabia yang diketuai oleh Syaikh Abdul Aziz bin Baz, kemudian Syaikh Abdur Razaq Afifi (sebagai wakilnya), dan beranggotakan Syaikh Abdullah bin Qu’ud dan Syaikh Abdullah bin Ghadayyan, pernah ditanya: Apakah jihad saat ini fardhu ‘ain, sedangkan hak-hak kaum Muslimin tercampakkan disebabkan oleh serangan bangsa asing dan lain-lain?
Dalam fatwa no. 7122, lembaga tersebut menjawab:
Jihad untuk menjunjung tinggi kalimat Allah, melindungi dinul Islam, meneguhkan penyampaian serta penyebaran dinul Islam dan menjaga kehormatan Islam, merupakan kewajiban setiap orang yang memungkinkan dan memiliki kemampuan untuk itu. Tetapi harus ada penataan dan pengorganisasian tentara, supaya tidak kacau dan tidak terjadi peristiwa-peristiwa yang tidak baik akibatnya. Oleh karena itu yang berwenang memulai jihad dan berhak mengurus jihad, adalah kewenangan Waliyyu Amri Al Muslimin (Penguasa umat Islam). Kewajiban ulama adalah membangkitkan kesadaran penguasa untuk itu. Apabila penguasa sudah memulai dan memerintahkan kaum muslimin berjihad, maka wajib bagi orang yang memiliki kemampuan berjihad, untuk menyambut seruan tersebut dengan ikhlas hanya menghadapkan wajahnya kepada Allah, mengharapkan dapat membela kebenaran dan melindungi Islam. Barangsiapa yang tidak ikut serta menyambut seruan jihad, padahal seruan itu ada, sedangkan ia tidak mempunyai udzur (alasan), maka ia berdosa. Wabillahi at taufiq, wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammad wa alihi washahbihi wasallam.[3]
Disamping itu, dalam jihad ini masih banyak sisi lain yang menuntut seseorang untuk tidak secara serampangan dalam melaksanakannya, atau menyematkan label jihad pada aktifitas yang dilakukannya. Apakah sisi lain tersebut?
Sisi lain dari jihad perang yang mungkin jarang terbayangkan oleh sebagian kaum Muslimin ialah, adanya konsekwensi-konsekwensi serta akibat-akibat yang ditimbulkan oleh jihad. Terutama hal-hal yang penyelesaiannya berkaitan dengan hukum syari’at. Secara syari’at, perihal tersebut hanya akan dapat terlaksana bila ada payung kepemimpinan yang sah. Selama payung ini tidak ada, atau tidak memobilisasi jihad, maka kewajiban jihad seperti ini tidak bisa dilaksanakan. Sebagai gantinya, kaum Muslimin harus bersabar. Caranya, yaitu tetap melaksanakan dakwah dengan hikmah secara benar sesuai dengan manhaj Salaf. Tidak dibenarkan melakukan tindakan dengan mengambil jalan pintas dengan mengangkat amir-amir atau imam-imam jama’ah untuk membenarkan penyematan label jihad. Atau secara membabi buta memaksakan kehendak untuk mendirikan Khilafah Islamiyah atau Daulah Khilafah, meskipun dengan cara memberontak yang juga dengan mengatas-namakan jihad.
Konsekwensi-konsekwensi yang timbul dari jihad tersebut di antaranya :
Pertama. Ghanimah, yaitu harta peninggalan orang-orang kafir yang didapatkan kaum muslimin karena peperangan.
Kedua. Tawanan perang, yaitu orang-orang kafir yang menjadi tawanan perang. Ini terbagi menjadi dua kelompok.
1. Kelompok yang otomatis menjadi budak, yaitu kaum wanita dan anak-anak, karena Rasulullah n melarang membunuh mereka.
2. Kelompok yang tidak otomatis menjadi budak, yaitu para lelaki dewasa. Untuk kelompok yang kedua ini, imam memiliki hak untuk menentukan antara membunuh, memperbudak, menghadiahkannya, meminta tebusan harta, atau ditukar dengan kaum Muslimin yang menjadi tawanan orang kafir. Dalam menentukan kelompok yang kedua ini, imam memilih yang dipandang maslahah. (Lihat Al Wajiz, hlm. 488).
Terhadap para tawanan ini, Islam memiliki ketentuan-ketentuan sebagai bagian dari syariat.
Ketiga. Fa-i, yaitu harta peninggalan orang-orang kafir yang didapatkan kaum muslimin tanpa didahului dengan pertempuran. Misalnya, harta yang ditinggalkan karena takut kepada pasukan muslimin, pajak dari orang kafir, serta harta peninggalan orang kafir dzimmi yang tidak memiliki ahli waris. (Lihat Al Wajiz, hlm. 490).
Semua persoalan di atas tidak mungkin menerapkannya dengan main hukum sendiri, tanpa ada pimpinan yang sah. Oleh karenanya, hukum-hukum yang berkaitan dengan jihad harus dikuasai lebih mendalam lagi, bukan asal menggelorakan semangat tanpa ilmu.
Tulisan ini tidak bermaksud mencetuskan fatwa baru berkaitan dengan perihal jihad, tetapi bertujuan mengajak seluruh pembaca untuk berhati-hati dalam bertindak, dan hendaknya bersedia secara terbuka mengkaji kembali ajaran Islam dengan benar melalui bimbingan para ulama Ahlu Sunnah, tanpa campur tangan hawa nafsu pribadi maupun kelompok. Hawa nafsu pribadi ataupun kelompok jangan sampai mendiktekan syari’at. Pemahaman terhadap syari’at tidak boleh berdasarkan opini hawa nafsu pribadi atau kelompok. Bukan apa-apa, kita hanya takut jika dalam masalah agama ini terjadi peyimpangan, yang kemudian dapat mengakibatkan kehancuran dunia-akhirat.
Jihad fi sabilillah adalah istilah suci yang tidak boleh dikotori oleh pemahaman-pemahaman rusak ala Khawarij, Mu’tazilah, Syi’ah atau ahli-ahli bid’ah lainnya. Wallahu al muwaffiq.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 05/Tahun IX/1426H/2005M Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 08121533647, 08157579296]
________
Footnote
[1]. Lihat Al Jihad Fil Islam Baina Ath Thalab Wa Ad Difa’, karya Syaikh Shalih Al Lahidan, Yuthlab Min Maktabah Al Haramain, Riyadh, Cet. IV, 1407-1408H, hlm. 141.
[2]. Shahih Bukhari, no. 26 -Fathul Bari (I/ 77)-, Shahih Muslim Syarah Nawawi, Tahqiq & Takhrij Khalil Ma’mun Syiha (II/260, no 244). Dan masih banyak hadits lain yang menerangkan keutamaan jihad fi sabilillah.
[3]. Lihat Fatawa Al Lajnah Ad Da’imah Lil Buhuts Al Ilmiyyah Wa Al Ifta’, Jama’ Wa Tartib, Syaikh Ahmad bin Abdur Razaq Ad Duwaisy, XII/12, tentang Hukmul Jihad, Dar Al ‘Ashimah, Cet. I, 1419 H/1998M.a
Artikel asli: https://almanhaj.or.id/2918-konsekwensi-jihad-perang.html